Member Of TDA Community

14/08/07

Obrolan Pagi Hari – Kalau Saja Sekolah Bisa Gratis

Hari ini Senin 18 Juli 2005, hari pertama tahun ajaran baru begitu aku sampai perempatan jalan langsung terlihat antrian panjang mobil-mobil. Wah bisa terlambat lagi hari ini, kemacetan terjadi di sepanjang jalan Pemuda Rawamangun. Setelah empat puluh lima menit akhirnya aku sampai juga di kantor dan catatan time clock menunjukan angka 08.19 melebihi batas waktu yang ditoleransi di kantorku. Ternyata anak-anak sekolah cukup berperan besar dalam menambah keruwetan lalu lintas di Jakarta.

I don’t like Monday, it happens to me today. Hal pertama yang terpikir adalah masalah audit pajak yang sedang kami hadapi. Semakin hari semakin banyak daftar pertanyaan dan permintaan dan juga urusannya otomatis jadi makin bertele-tele. Akhirnya aku harus menghadapi ujian ini, berhadapan dengan aparatur pemerintah, yah ini adalah pengalaman pertama. Kesimpulan dari berbagai pendapat teman seprofesi adalah UUD, Ujung-Ujungnya Duit. Salah seorang teman seprofesi menasehati begini, “ajak aja bossmu makan malam dengan mereka, yah mereka itu minimal mesti di-entertaintlah”. Ini memang solusi singkat, jalan pintas yang paling umum di pakai orang, dari pada kita yang pontang-panting kerja melayani permintaan mereka, memberi penjelasan ini-itu, yang harusnya jadi tanggung jawab mereka sebagai aparatur negara. Bagaimana kalau mereka mendapat penjelasan yang salah apa mereka bisa tahu. Mereka bekerja di kantor yang namanya Kantor Pelayanan Pajak dan mereka bekerja sebagai tim pemeriksa, setelah meminta semua dokumen dan laporan mestinya mereka sudah bisa melihat mana yang melenceng dari laporan atau tidak. Kenapa pula kita yang mesti repot-repot menjelaskan, aku jadi mempertanyakan kemampuan mereka, apa mereka cukup didukung dengan latar belakang pendidikan dan pengalaman kerja yang memadai. Akhirnya tugas negara yang diembannya dikerjakan dengan setengah hati, karena lebih mengharapkan imbalan atau uang jasa dari rakyat yang harusnya dilayani.

Selama akhir pekan kemarin, hati ini bertanya-tanya jadi kepikiran terus apa iya segala urusan di negeri ini bisa dibereskan dengan uang. Masih terlintas di kepala ini tulisan di Kompas Sabtu 17/07/05, tentang pengakuan John Perkins di bukunya yang baru diterbitkan. Aku benar-benar tidak bisa membayangkan jika memang itu benar-benar pernah terjadi. Bangsa kita yang besar ini rupanya tidak pernah belajar dari pengalaman, setelah 350 tahun mengalami jaman kolonialisme sampai sekarangpun kita masih dijajah secara terselubung karena tidak semua orang dari bangsa ini yang menyadarinya walaupun aku yakin mereka pasti masih merasakannya karena mereka masih hidup dalam kemiskinan. Apakah bangsa ini masih belum sadar juga, ada yang salah, kita salah mengelola, salah mengatur dan salah memanage aset bangsa ini. Bagaimana mungkin petani bisa hidup miskin di lumbung padi, bagaimana mungkin negeri yang kaya dengan sumber daya alam terutama BBM tapi kita masih melihat antrian panjang di pompa bensin, minyak tanah dan solar untuk kepentingan rakyat jelata sulit didapat karena tidak ada suplai di pasaran.

Kita mesti mengakui kehebatan hasil kerja Amerika Serikat melalui John Perkin dan timnya, betapa mereka berhasil membuat bangsa yang kaya sumber alam dalam menjadikan rakyatnya hidup dalam kemiskinan. Dengan menggelumbungkan hasil laporan surveynya, mereka berhasil meyakinkan lembaga keuangan dunia seperti IMF dan World Bank mengeluarkan dananya untuk membiayai proyek-proyek yang dikerjakan oleh perusahaan-perusahaan konglomerat Amerika. Anehnya pemerintahan bangsa ini sangat bangga sekali dengan semakin banyaknya investasi asing yang masuk ke Indonesia.

Sikap kepala pemerintahan, yang selalu berusaha mendapatkan hutang luar negeri untuk membiayai proyek-proyek pengerukan kekayaan alam Indonesia sungguh sangat egois, tidak nasionalis dan sangat tidak bertanggung jawab. Menurut pengakuan Perkins dibukunya pejabat-pejabat negara yang terlibat dalam pencairan dana untuk proyek-proyek tersebut mendapatkan sejumlah uang. Pantas saja setiap tahun kita selalu melihat pemerintahan kita seolah berlomba-lomba untuk mendapatkan hutang luar negeri.

Apakah kita ingin nantinya anak cucu kita harus menggadaikan hidupnya jiwa dan raganya untuk membayar hutang-hutang bangsa ini sementara seluruh kekayaan alamanya telah habis dikeruk oleh nenek moyangnya. Siapkah kita untuk mempertanggungjawabkannya?

Menurut hasil pengamatanku investasi asing di Indonesia hanya sekedar menggerakan roda perekoniam dengan menciptakan lapangan pekerjaan. Dengan standar gaji yang rendah di Indonesia dan rendahnya biaya produksi lainnya otomatis kaum kapitalis imperialis yang berkedok investor asing tersebut yang paling besar mendapat keuntungan. Jangan heran bila mereka mendepositkan dolar demi dolar keuntungan mereka ke luar Indonesia sehingga sampai sekarangpun pemerintahan kita belum bisa mengendalikan nilai tukar rupiah terhadap dolar.

Negara-negara Eropa seperti Irlandia dan Lexoumberg berhasil menempatkan diri sebagai negara terkaya di Eropa. Bayangkan negara yang tanpa sumber daya alam dan letak geografis yang kurang menguntungkan berhasil menjadi negara terkaya. Itu tak lain karena Irlandia berhasil membentuk sumber daya manusianya. Baru di era tahun 90-an, pemerintahan negera tersebut mulai menyelenggarakan pendidikan gratis dan hasilnya sungguh di luar dugaan sekarang mereka menjadi negara terkaya karena investasi yang masuk ke negara tersebut lebih mementingkan sumber daya manusianya. Sedangkan Lexoumberg menjadi negara kaya karena bank di negara tersebut dikenal sebagai tempat yang aman untuk menyimpan deposit.

Kembali lagi ke masalah perpajakan di Indonesia, menurut sumber yang aku dapat modernisasi yaitu system on-line pelaporan pajak yang sejak awal tahun 2000-an didengung-dengungkan adalah hasil dari petunjuk IMF sebagai syarat untuk mendapatkan dana cair dari IMF saat krisis ekonomi melanda bangsa ini.. Lagi-lagi IMF, kenapa bangsa lain mesti campur tangan urusan dalam negeri kita. Mengapa pula aku mesti heran dan bertanya-tanya, pastinya karena IMF yang punya dana kan? Tapi mengapa pula mereka yang lebih berkuasa untuk mengatur keuangan negeri ini. Mungkin mental para aparatur negara yang mesti dibenahi, karena mereka bisa begitu murahnya menjual negerinya sendiri. Semua masalah akhirnya harus berujung ke pribadi mental aparat yang mengelola negeri ini dari pucuk pimpinannya sampai ke bawahannya yang paling rendah.

Tidak dipungkiri lagi peran sekolah dan orang tua cukup besar dalam membentuk pribadi tiap orang. Bicara soal pendidikan di negeri ini sungguh sangat tidak berpihak kepada rakyat. Tahun ajaran baru di mulai dengan pernyataan pemerintah yang tidak berdaya mengatur tarif biaya sekolah yang dihitung mulai dari uang buku, uang gedung sampai biaya ekstra kurikuler lainnya. Bisa dibayangkan betapa banyaknya anak-anak yang tidak dapat bersekolah. Anak-anak generasi penerus bangsa mestinya harus jadi perhatian kita semua karena di tangan mereka nantinya arah bangsa ini akan ditentukan. Apakah ini yang ingin kita hasilkan? generasi muda yang bodoh tidak berkepribadian yang akan dengan mudah terkena pengaruh luar. Apakah kita ingin jadi bangsa yang dari generasi ke generasi sebagai bangsa yang korup? Kita mestinya bisa belajar dari Irlandia dengan mencetak sumber daya manusia yang tangguh diharapkan kita mampu mengelola negeri yang kaya ini sehingga kita bebas dari imperilasme abad modern ini dan maju berdiri sejajar dengan bangsa – bangsa lain di dunia ini.

Semua bisa dimulai dari sini, pendidikan. Sebenarnya ini bukan hal yang baru kalau dilihat ke belakang sejarah bangsa ini, kita baru bangkit melawan penjajahan di awal-awal tahun 1900-an yaitu setelah kita mulai mengenal sekolah untuk kaum inlander waktu itu. Kalau saja kita mau menengok sejenak ke belakang melihat sejarah bangsa ini. Kalau saja sekolah bisa gratis, ...


Jakarta, 18 Juli 2005
Retno Murti

Tidak ada komentar: